Kamis, 21 Februari 2008

Knowledge of "IMAN"

“Saat kejayaan adalah saat iman, dan saat keruntuhan adalah saat hilangnya iman. Sebagaimana iman menciptakan keajaiban di alam jiwa, seperti itu juga ia menulis cerita keajaiban di alam kenyataan. Gelora dalam jiwa pun menjelma menjadi prestasi-prestasi sejarah.” (Abul Hasan Ali Al Hasani Al Nadwi).

Iman adalah sumber energi jiwa yang senantiasa memberikan kita kekuatan untuk bergerak menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam zaman kehidupan, atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi. Iman adalah gelora yang memberi inspirasi kepada pikiran-pikiran kita, maka lahirlah “bashirah”. Iman adalah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, maka lahirlah “Taqwa”. Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, maka lahirlah “harakah”. Iman menentramkan perasaan, menguatkan tekad dan menggerakkan raga kita.
Iman mengubah individu menjadi baik, dan kebaikan individu menjalar dalam kehidupan masyarakat, maka masyarakat menjadi erat dan dekat.
Namun, untuk mendapatkan iman yang sempurna, kita harus mengerti karakter dari iman itu sendiri. Ada dua hal yang perlu dipahami ketika membahas masalah keimanan. Pertama, karakter iman, kedua, karakter hati sebagai wadah bersemayamnya iman. Iman mempunyai karakter yang fluktuatif, terkadang naik dan tinggi, tetapi terkadang juga turun dan rendah.
“Iman itu bisa bertambah bisa berkurang, maka perbaharuilah imanmu dengan Laa Ilaaha Illallah.” (H.R. Ibnu Islam)
Sedangkan hati sebagai wadahnya iman memiliki karakter terbolak balik dan tidak tetap. Hati atau kalbu berasal dari bahasa Arab, Qolbu. Qolbu sendiri berasal dari kata qolaba-yanqolibu-qolbun, yang artinya terbolak balik. Maka Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Ya Allah, Wahai Zat Yang Maha Membolak-balikkan, tetapkanlah hatiku di dalam dien-Mu dan di dalam ketaatan pada-Mu.”
Dari kedua karakteristik di atas, iman dan hati, membuat kita tak pernah boleh yakin dan puas akan kadar keimanan kita yang kita miliki sekarang. Setidaknya tumbuh dua perasaan, harap dan cemas di dalam hati kita. Harapan agar kelak Allah mematikan kita dalam keimanan yang tinggi dan benar. Cemas dan takut kalau Allah mematikan kita dalam kondisi keimanan sedang menurun.
Jadi beriman atau tidaknya seseorang tidak dapat kita nilai hanya melalui kata-kata yang keluar dari mulutnya saja, tapi sesunggunya hakekat keimanan itu adalah diikrarkan dengan lisan, membenarkan dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota badan. Selain kondisi keimanan di atas, saya ingin memasukkan sebuah pendapat dari sahabat saya tentang iman itu sendiri, yaitu:
“Bahwa kondisi iman itu lebih cocok dikatakan keluar masuk, sebab kalau direnungkan keseharian kita sepertinya tidak lepas dari dosa, ketika kita bermaksiat, itulah saat saat kita mengeluarkan iman kita, walaupun cuma 1/sejuta detik. Lalu bermaksiatlah kita walau cuma 1/sejuta detik tadi. Kemudian kita ingat kalau kita ternyata telah bermaksiat. Lalu iman itu kita masukkan lagi. Kemudian bermaksiat lalu iman keluar, lalu ingat, masuk lagi”.
Benar juga, bahwa sebenarnya iman kita itu keluar masuk, misalnya kita berbohong itu tandanya kita sedang tidak beriman, karena iman itu kan artinya bahwa kita meyakini bahwa Allah Maha Tahu dan Maha Mendengar segalanya, namun kita tetap berbohong, itu tandanya kita tidak beriman.
Jadi kesimpulannya iman perlu dipelihara, dipupuk, disiram agar bisa tumbuh dengan subur. Dan terakhir, Do’a saya untuk para pembaca semua adalah Semoga Allah senantiasa melimpahkan Hidayah-Nya kepada kita semua, hingga kita menemui Husnul Khatimah. Amin!!

Inilah Pilihanku

Umar bin Habib Ibnu Hamasyah berkata saat ayahnya berwasiat kepadanya, “Apabila seseorang dari kalian ingin melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia merpersiapkan dirinya untuk senantiasa bersabar dari berbagai gangguan yang akan menimpanya. Ia juga harus yakin atas pahala yanh Allah janjikan. Sebab, barangsiapa yang yakin dengan pahala Allah Azza wa Jalla, niscaya berbagai gangguan itu takkan berbuah petaka baginya.”

Pesan tersebut sangat mendasar, sebab jika kita telah menetapkan pilihan untuk bergabung dalam barisan panjang pejuang kebenaran, maka kita memang harus sudah siap dengan berbagai rintangan yang pasti akan kita temui selama dalam perjalanan tersebut.
Jalan dakwah tidak ditaburi bunga-bunga harum, tetapi merupakan jalan sukar dan panjang. Sebab, antara yang haq dan bathil ada pertentangan nyata. Dakwah memerlukan kesabaran dan ketekunan memikul beban berat. Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil yang segera, tanpa putus asa dan putus harapan. Yang diperlukan ialah usaha dan kerja yang terus-menerus dan hasilnya terserah kepada Allah, sesuai dengan waktu yang dikehendaki-Nya. Mungkin juru dakwah tidak akan melihat hasil dakwah serta buahnya di dalam hidup di dunia ini. Kita hanya disuruh beramal dan berusaha, tidak disuruh melihat hasil dan buahnya.
Sebaliknya para da’i di jalan Allah akan menemui berbagai gangguan dan penyiksaan dari golongan thaghut (tidak membela kebenaran) dan musuh-musuh Allah yang akan menghapuskan mereka, memusnahkan dakwah mereka, atau menghalangi mereka dari jalan-Nya. Itu adalah persoalan biasa yang telah berulang kali terjadi di zaman silam, dan akan terus berulang di zaman ini. Semuanya didorong oleh rasa ketakutan angkatan thagut. Mereka takut kekuasaannya yang berdiri di atas dasar kebathilan akan musnah apabila yang haq bangun dan tegak untuk menghapus kebathilan.
Namun Allah Azza wa Jalla telah mempersiapkan pahala berlipat ganda bagi mereka yang berjalan di atas jalan itu. Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya, akan muncul suatu masa dimana orang yang sabar pada saat itu, seperti memegang bara dan orang yang mengamalkan (ajaran Islam) pada waktu itu akan mendapatkan pahala 50 orang.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasul, itu maksudnya 50 orang dari mereka atau dari kami?” Rasulullah menjawab, “50 orang dari kalian.”
Dalam riwayat lain dikatakan bagi orang yang bertahan (dengan kesabarannya) ia akan mendapatkan pahala 50 orang mati syahid. Umar bertanya, “Wahai Rasulullah, dari mereka atau dari kami?” Rasulullah menjawab, “Dari kalian!”
Demikianlah besarnya pahala orang yang memilih jalan dakwah dan dia berusaha untuk sabar dan istiqomah untuk selalu bertahan di jalan itu. Semoga kita semua termasuk orang yang senantiasa diberikan keistiqomahan oleh Allah untuk selalu berjuang di jalan ini yaitu di jalan dakwah yang mulia ini, dan semoga itu adalah pilihan kita semua. Amin!

Bersyukurlah Tanpa Putus

Saudaraku, ada banyak keterlibatan kita dalam hidup, dimana kita lebih bisa meraba kesulitan, daripada meraba kemudahan. Kita, lebih pandai memikirkan beban hidup, ketimbang keringanan hidup yang pasti kita rasakan. Kita lebih sering merasakan hidup ini dari sudut penderitaan, tumpukan masalah, beban jiwa yang berat, tapi sangat jarang melihat hidup dari sisi kelapangan, kesenangan, kemudahan yang lebih banyak kita terima.
Mari merenung sejenak. Pejamkan mata dan hadirkan bagian-bagian dari episode kehidupan yang sudah kita lalui. Rasakanlah peristiwa hidup mana yang begitu menggelayut berat dalam jiwa kita. Lalu lihatlah peristiwa hidup mana yang ternyata bernilai kemudahan, keringanan, keluasan yang kita rasakan dan lalui dalam hidup ini. Tadabburkanlah firman Allah SWT, “Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah:5-6)
Hitunglah saudaraku, adakah bagian penderitaan lebih dominant dalam hidup kita? Atau bagian keringanan, kemudahan, kelapangan, yang lebih banyak kita rasakan? Kesulitan tidak akan berdiri sendiri. Karena dalam kesempitan, pasti ada keluasan yang diberikan Allah untuk kita. Karena dalam kesusahan, pasti ada kemudahan yang dihamparkan-Nya untuk kita.
Saudaraku, ucapkanlah “Alhamdulillah” dengan sepenuh nafas dan penghayatan yang dalam. Syukurilah semua fase hidup yang kita alami di sini. Karena ternyata seluruh ruang kehidupan kita tak pernah terlepas dari limpahan rahmat Allah. Segenap gerak dan langkah kita di sini, selalu diikuti dengan kucuran karunia Allah yang melimpah ruah. Semua peristiwa yang kita alami di sini, selalu berada di bawah naungan cinta Allah. Semuanya. Seluruhnya.
Saudaraku, limpahan harta, kenikmatan hidup secara fisik, kebaikan pandangan kasat duniawi manusia, sama sekali bukan simbol bahwa kasih sayang Allah kepada orang yang mengalaminya lebih dari orang lain yang tidak merasakannya. Keindahan rupa, kebagusan pandangan, kenikmatan lahir, juga tidak menjadi tanda bahwa Allah lebih mencintai orang-orang memilikinya ketimbang orang yang tidak mengalami keadaan seperti mereka. Kesuksesan, keberhasilan, keunggulan, sekali-kali tidak menjadi rambu bahwa orang yang mengalaminya lebih dikasihi dan lebih dicintai oleh Allah ketimbang orang yang gagal dan kurang prestasinya di mata manusia.
Ingat saudaraku, tingkat kemuliaan seorang hamba dan kecintaan Allah kepadanya, tergantung tingkat keistiqomahannya dalam melakukan amal-amal taat kepada Allah, ketundukannya untuk tetap berada dalam jalur keridhaan Allah SWT. Dunia, bisa dimiliki oleh semua orang. Kebagusan, keindahan, kenikmatan, kesuksesan, bisa dipunyai oleh siapa saja. Kafir maupun mukmin, pelaku maksiat maupun orang yang taat, pendusta maupun orang yang jujur. “Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang ia cintai dan orang yang tidak ia cintai. Tapi Allah tidak akan memberikan nikmat agama kecuali pada orang yang ia cintai. Barangsiapa yang diberikan agama oleh Allah, maka sesungguhnya Allah telah mencintainya.” (HR. Ahmad).
Karena itu saudaraku, jika kita sedang melewati ujian hidup, buang jauh-jauh bayangan keputusasaan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun fenomena hidup ini tidak boleh membalik sudut pandang keimanan kita. Karena kebaikan di dalam pandangan keimanan, adalah ketaatan pada Allah. Tidak tergantung oleh penilaian sesama makhluk. Karena kebenaran dalam timbangan aqidah kita, selalu ditentukan oleh keridhaan Allah. Tidak ditentukan oleh keinginan makhluk. Putus asa, kecewa berlebihan, merasa tak mempunyai harapan, menganggap jalan hidup menjadi buntu karena permasalahan yang mendera adalah bagian dari sifat-sifat kekufuran. Mufassir Fakhrur Razi dalam Tafsir Al Kabir 18/199, menyebutkan, “ketahuilah bahwa putus asa dari rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali jika seseorang yakin bahwa Allah tidak mampu dalam kesempurnaan, yakin bahwa ilmu Allah tidak meliputi seluruh makhluk-Nya, yakin bahwa Allah itu bakhil dan tidak mudah memberi. Dan jika seseorang telah meyakini satu hal saja dari ketiga keyakinan itu, maka orang tersebut telah jatuh pada kekufuran. Itu sebabnya dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan tidaklah putus asa terhadap rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Sabtu, 26 Januari 2008

Manajemen Futur

“Ana letih, tepatnya jiwa ana. Akhir-akhir ini semuanya terasa hambar. Ana seolah terjebak dalam lorong rutinitas yang panjang. Ini membuat ana bingung, harus bagaimana menyikapinya. Sementara ana tidak melihat seseorang yang mampu diajak bicara. Atau mungkin ana yang kurang terbuka, ah….entahlah. ana hanya ingin sejenak menyendiri…afwan ya….!!!”

Keluhan tersebut mungkin pernah sampai kepada kita. Bahkan mungkin pula kita yang menjadi aktor utamanya. Keluhan yang walaupun “sering” menghampiri namun tak jua membuat kita akrab dan tahu menyikapinya. Setiap kali datang kita lebih sering tidak menyadarinya. Ketika kondisi semakin memburuk baru terasa bahwa kita sedang “sakit”. Jika sudah begitu kebingungan memenuhi ruang hati kita. Keluhan dan penyakit itu kita kenal dan kita beri istilah futur. Menurut DR. Sayyid Muhammad Nuh, dalam buku Terapi Mental Aktivis Harakah menuliskan bahwa future secara istilah adalah suatu penyakit yang dapat menimpa sebagian aktivis, bahkan menimpa mereka secara praktis (dalam bentuk perbuatan).

Ada beberapa penyikapan yang bisa kita lakukan agar bisa menghindari atau tidak berlarut-larut dengan kefuturan :
1. Merancang standar ibadah harian
Setiap kita hendaknya memiliki standar ibadah harian. Suatu bentuk latihan kedisiplinan terhadap nilai keimanan. Misalnya kita mentargetkan jumlah ayat tilawah, tadabbur, dan hafalan, frekuensi shalat sunnah lainnya, jumlah infak dan sedekah, serta jumlah buku yang harus difahami. Pada saat kondisi ruhiyah kita sedang sehat maka kita bebas untuk menambah dan meningkatkannya. Akantetapi pada saat sedang futur maka standar minimalnya tidak boleh dikurangi. Hal tersebut secara tidak langsung akan menjadi obat dan penguat kita.
2. Mengenali kemampuan diri
Futur bukanlah hal yang terjadi sekali dalam seumur hidup kita. Ia terjadi berulangkali. Dengan demikian penting bagi kita untuk mengenali secara jelas penyebab yang paling memungkinkan ia hadir. Salah satu yang mungkin terjadinya kefuturan adalah apabila terlalu banyak amanah dalam waktu yang bersamaan. Seorang aktivis hendaknya mengenali betul batas-batas kemampuannya, untuk menghindari adanya amanah yang tidak dapat diselesaikan dengan optimal. Dan ini juga dapat mengatasi masalah kefuturan.
3. Menentukan ibadah unggulan
Setiap kita pasti memiliki keterbatasan yang banyak, termasuk dalam hal ibadah. Untuk menyikapinya perlu bagi kita untuk memiliki ibadah-ibadah unggulan. Sahabat Rasulullah Bilal bin Raba’ah, ditetapkan masuk surga berkat keihklasan amaliahnya dalam shalat sunnah wudhu. Sahabat Rasulullah yang mulia selalu menebus kelemahannya dalam suatu ibadah dengan mengerjakan ibadah lainnya. Jika kita membudayakannya maka akan sangat efektif untuk pengkondisian diri kita. Selalu setiap kali kelemahan menghampiri kita tahu apa yang harus dilakukan.
4. Membuat variasi-variasi dalam beraktivitas
Seperti halnya tatanan kamar tidur kita, jika senantiasa mengalami variasi tata ruang akan selalu mampu memompakan inspirasi baru untuk mnyelesaikan amanah. Dalam kegiatan pun demikian. Salah satu kelemahan aktivis dakwah saat ini adalah ketidakmampuan membuat variasi-variasi dalam aktivitasnya dan ini akan mudah menjebak kita ke dalam kejenuhan. Misalnya merubah format rapat dari formal menjadi lebih santai, atau membuat kegiatan yang lebih variatif dari segi ide dan bentuknya. Jika semangat seperti ini selalu ada maka futur bukanlah kiamat bagi kita.
5. Rihlah dan berpetualang
Orang yang banyak melakukan perjalanan biasanya memiliki kestabilan emosi yang relative baik. Itulah mengapa salah satu cara mengembangkan potensi diri adalah dengan rihlah. Dalam kerja dakwah tuntutan untuk selalu optimal adalah tuntutan setiap saat. Bukan suatu yang berlebihan jika rihlah ditetapkan menjadi agenda tetap dalam agenda-agenda dakwah kita. Rihlah memberikan suasana yang berbeda. Sejenak kita keluar dari keterkungkungan formalitas aktivis dakwah. Menyerap segenap pengalaman-pengalaman positif, baik melalui perenungan, maupun terhadap peristiwa yang dijumpai saat rihlah. Semakin banyak tabungan pengalaman positif kita maka semakin paham kita dengan diri kita sendiri. Jika demikian, ketika futur datang bagi kita bukan masalah.

Ikhwah wa Akhwatifillah, kesadaran akan optimalisasi potensi membuat kita harus senantiasa menyiapkan diri kita optimal dalam semua kondisi. Maka futur yang merupakan karakter fitrah kita, perlu disikapi proporsional. Untuk itulah mengenali, mengatur dan mengeliminasi dampaknya menjadi keterampilan yang harus dimiliki setiap aktivis dakwah. Sesungguhnya kondisi umat Islam hari ini sama sekali tidak menyisakan kesempatan bagi kita untuk berlama-lama dengan kelemahan diri. Kebodohan, keterbelakangan, dan ketertinggalan, kita harus ditebus dengan kerja keras dan usaha yang maximal. Sesungguhnya hampir tidak ada waktu bagi kita untuk lalai dari permasalahan tersebut.

Wallahu a’lam bis showab.











By: Mujahidah_2820

Kamis, 24 Januari 2008

Syukran Ayyuha Al A'daa (Terima Kasih Wahai Musuh)

Syukran Ayyuha Al A’daa
(Terima kasih wahai musuh)

Hidup memang medan ujian. Setiap kita pasti mengalami kondisi buruk dan sempit sebagai bagian dari kehidupan. Termasuk kondisi-kondisi seperti dimusuhi, dibenci, dicaci, difitnah atau diperangi. Tak ada manusia yang suka dengan suasana-suasana hidup seperti itu. Karenanya, di antara perjalanan hidup yang paling buruk adalah saat kita melewati proses hidup yang melahirkan musuh, mendatangkan kebencian, mengundang caci maki, atau mengobarkan perang. Masalahnya, perjalanan hidup ini mengajarkan, bahwa dimusuhi, dibenci, dicaci, dan segala bentuknya juga mempunyai hikmah.
Karena sebenarnya banyak sekali manfaat keberadaan musuh ini bagi kita yaitu seperti yang dipaparkan oleh Salman bin Fahd Al Audah yaitu diantaranya:
1. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang menjadikanku sadar untuk mengendalikan diri dan tidak hanyut dalam gelombang pujian. Kalian dijadikan Allah SWT agar aku tidak menjadi sombong akibat pujian berlebihan, atau anggapan baik yang hanya melihat kebaikan dari diriku.
2. “Terima kasih wahai musuh” bagaimanapun kalian memberi manfaat kepadaku, meskipun sebenarnya, kalian tidak mau melakukan itu. Kalian telah menciptakan kemampuan untuk berpikir lebih seimbang dan adil. Mungkin ada seseorang yang berlebihan menunaikan haknya, lalu kalianlah yang menjadi sebab keseimbangan.
3. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang menerbitkan semangat, meletakkan tantangan, membuka kecermatan, mendorong untuk berkompetisi, agar seseorang bisa lebih berhati-hati, lebih disiplin, lebih cermat mendidik diri, dan menghiasi diri untuk memiliki sikap yang terpuji. Berlomba dan berkompetisi dalam kebaikan adalah prilaku yang dianjurkan dalam Islam.
4. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang melatih kami untuk mampu lebih bersabar dan lebih kuasa menanggung beban. Kalianlah yang menbantu kami untuk lebih bias menghadapi keburukan dengan kebaikan.
5. “Terima kasih wahai musuh” mungkin dalam timbangan amal ada kebaikan yang tidak bias aku peroleh hanya dengan kebaikan dan amal shalih, tapi hanya bisa diperoleh melalui kesabaran, menanggung beban, keridhaan, bias menerima, toleransi dan maaf.
6. “Terima kasih wahai musuh” aku merasa mungkin ada sebagian kata yang menyakiti kalian. Sungguh saya tidak bermaksud menyakiti kalian. Tapi saya katakan dengan sejujurnya, kalian adalah teman-teman sejati.
7. “Terima kasih wahai musuh” kalianlah yang telah menjadikanku lebih memikirkan kekurangan yang selama ini justru sulit teraba.
8. “Terima kasih wahai musuh” dengan ungkapan yang tegas, jelas, bahkan mungkin kasar, kalian bisa langsung mengarahkan nasehat yang sangat mengena di dalam hati sehingga aku bisa lebih berhati-hati melakukan apapun.
9. “Terima kasih wahai musuh” melalui cacian dan makianmu, boleh jadi aku justru terbebas dari belenggu syaithan yang ingin menjerumuskanku dalam sifat buruk yang kalian sampaikan dan mungkin saja aku terjerumus di dalamnya dan seterusnya.
Jika kita telah yakin berada di jalan yang benar, kita tidak perlu khawatir dan takut dengan permusuhan atau kebencian yang muncul.
Semua ini membuktikan bahwa memiliki musuh tidaklah buruk. Memiliki musuh berarti ada lawan yang harus dikalahkan, ada rival yang mesti ditaklukkan. Memiliki musuh akan membuat kita berpikir mengenai teknik ataupun strategi apa yang akan dijalankan, kapan menyerang, dan kapan bertahan. Memiliki musuh akan timbul harapan dan perjuangan untuk mencapai keberhasilan. Bukankah kalo mau hidup aman, kita harus siap untuk berperang? Ingat juga, bahwa musuh ada yang nyata, dan ada yang tidak nyata. Setan melalui godaannya adalah musuh yang tidak nyata. Tapi itu menjadi musuh utama. Hawa nafsu, amarah, dan keinginan bertindak salah juga musuh yang juga harus ditaklukkan.
Ini hanya bagian dari kehidupan yang harus kita hadapi. Tapi bukan berarti kita justru menciptakan permusuhan dan mengundang perselisihan. Kita hanya wajib berpegang pada sesuatu yang kita yakini kebenarannya di sisi Allah SWT, itu saja!!!