Senin, 17 Desember 2007

Sudah Terujikah Iman Kita?


BILA kita sudah menyatakan iman dan kita mengharapkan manisnya buah iman yang kita miliki yaitu surga, sebagaimana yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal” (Al-Kahfi :107)
Maka marilah kita bersiap-siap untuk menghadapi ujian berat yang akan diberikan Allah kepada kita. Dan bersabarlah kala ujian itu datang kepada kita. Allah memberikan sindiran kepada kita yang ingin masuk surga tanpa melewati ujian yang berat.
“Apakah kalian mengira akan masuk surga sedangkan belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. Bilakah datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat” (Al-Baqarah : 214).
Cobalah kita renungkan, apa yang telah kita lakukan untuk membuktikan keimanan kita? Cobaan yang telah kita alami dalam mempertahankan iman kita? Apa yang telah kita korbankan untuk memperjuangkan aqidah dan iman kita?
Bila kita memperhatikan perjuangan Rasulullah SAW dan orang-orang terdahulu dalam mempertahankan iman mereka dan betapa pengorbanan mereka dalam memperjuangkan iman mereka. Mereka rela mengorbankan harta mereka, tenaga mereka, pikiran mereka, bahkan nyawa pun mereka korbankan untuk itu. Rasanya iman kita ini belum seberapa atau bahkan tidak ada artinya dengan iman mereka.
Apa kita tidak malu meminta balasan dari Allah, sementara pengorbanan kita sedikitpun belum ada? Ujian yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah berbeda-beda.
Dan ujian dari Allah bermacam-macam bentuknya. Setidaknya ada empat mcam ujian yang telah dialami para pendahulu kita:Yang Pertama, ujian yang berbentuk perintah untuk dilaksanakan. Seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihissalam untuk menyemblih putranya yang sangat ia cintai.
Ini adalah satu perintah yang betul-betul berat dan mungkin tidak masuk akal. Bagaimana seorang bapak harus menyemblih anaknya yang sangat dicintai. Padahal anaknya itu tidak melakukan kesalahan apapun. Sungguh ini ujian yang sangat berat sehingga Allah sendiri mengatakan:
“Sesungguhanya ini benar-benar suatu uijan yang nyata” (Ash- Shaffat : 106)
Dan di sini kita melihat bagaimana kualitas iman Nabi Ibrahim Alaihissalam yang benar-benar sudah tahan uji. Sehingga dengan segala ketabahan dan kesabarannya perintah yang sangat berat itu dijalankan.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim dan putranya adalah pelajaran yang sangat berat dan sangat berharga bagi kita. Perlu kita tauladani karena sebagaimana yang kita rasakan dalam kehidupan kita banyak sekali perintah Allah yang dianggap berat dan dengan berbagai alasan kita berusaha untuk tidak melaksanakannya. Sebagai contoh Allah telah memerintahkan kepada para muslimah untuk, menggunakan jilbab (pakaian yang menutup seluruh aurat). Secara tegas untuk membedakan antara wanita muslimah dan wanita musyrik, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Hai Nabi katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Al-Ahzab : 59)
Namun kita lihat sekarang masih banyak wanita Muslimah di Indonesia khususnya tidak mau memakai jilbab dengan berbagai alasan. Ada yang menganggap kampungan, tidak modis, atau beranggapan bahwa jilbab adalah bagian dari budaya bangsa arab. Ini pertanda bahwa iman mereka belum lulus ujian. Padahal Rasulullah SAW memberikan ancaman kepada para wanita yang tidak mau memakai jilbab dalam sabdanya : “Dua golongan dari ahli neraka yang belum aku lihat, suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, yang dengan cambuk itu mereka memukul manusia, dan wanita yang memakai baju tetapi telanjang berlanggak-lenggok menarik perhatian, kepala-kepala meraka seperti punduk unta, mereka tidak akan masuk surga dan mencium wanginya”. (HR. Muslim). Bersambung.
Yang Kedua, ujian yang berbentuk larangan untuk ditinggalkan. Seperti yang terjadi pada Nabi Yusus a.s. Ia diuji dengan seorang perempuan cantik. Istri seorang pembesar Mesir yang mengajaknya berzina.
Kesempatan itu sudah sangat terbuka. Tapi ketika keduanya sudah tinggal berdua di rumah dan perempuan itu telah mengunci seluruh pintu. Namun Nabi Yusuf membuktikan kualitas imannya. Ia berhasil meloloskan diri dari godaaan perempuan itu, padahal sebagaimana pemuda umumnya yang memepunyai hasrat kepada wanita. Ini artinya dia telah lulus dari ujian atas imannya.
Sikap Nabi Yusuf alaihissalam ini perlu kita ikuti. Terutama untuk anak muda muslim di zaman sekarang. Di saaat pintu-pintu kemaksiatan terbuka lebar pelacuran merebah dimana-dimana, minuman keras dan obat-obat terlarang sudah merambah ke berbagai lapisan masyarakat.
Sampai-sampai anak-anak yang duduk di sekolah dasar pun sudah ada yang kecanduan. Perzinaan seakan menjadi bahan biasa bagi anak muda sehingga tidak heran bila menurut sebuah penelitian, bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya enam dari sepuluh remaja putri sudah tidak perawan.
Akibatnya setiap tahun sekitar dua juta bayi dibunuh dengan cara aborsi atau dibunuh beberapa saat setelah anaknya lahir. Keadaan seperti itu diperparahkan dengan berbagai media cetak yang berlomba-lomba memamerkan aurat wanita.
Juga media elektronik dengan acara-acara yang sengaja dirancang untuk membangkitkan gairah seksual para remaja. Pada saat seperti inilah sikap Nabi Yusuf a.s perlu ditanamkan dalam dada pemuda muslim.
Para pemuda muslim harus selalu siap siaga menghadapi godaan demi godaan yang akan mejerumuskan dirinya ke jurang kemaksiatan.
Yang ketiga, ujian yang berbentuk musibah seperti terkena penyakit, ditinggalkan orang yang dicintai, dan sebagainya. Sebagai contoh Nabi Ayub a.s yang diuji oleh Allah dengan penyakit yang sangat buruk sehingga tidak ada sebesar lubang jarum pun dalam badannya yang selamat kecuali hatinya. Seluruh hartanya telah habis, tidak tersisa sedikitpun untuk biaya pengobatan penyakitnya dan nafkah istrinya. Seluruh kerabat meninggalkannya, tinggal ia dan istrinya yang setia menemaninya dan mencarikan nafkah untuknya. Musibah ini berjalan selama delapan belas tahun, sampai pada saat yang sangat sulit sekali baginya memelas sambal berdo’a kepada Allah.
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayub ketika ia menyeru Tuhannya, sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan”. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal 51).
Dan ketika itu Allah memerintahkan Nabi Ayub a.s untuk menghatamkan kakinya ke tanah, kemudian keluarlah mata air dan Allah menyuruhnya untuk meminum dari air itu. Maka hilanglah seluruh penyakit yang ada di bagian dalam dan luar tubuhnya. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal 52). Begitulah ujian Allah kepada Nabi-Nya, masa delapan balas tahun ditinggalkan oleh sanak saudara merupakan perjalanan hidup yang sangat berat, namun di sini Nabi Ayuub a.s membuktikan ketangguhan imannya, tidak sedikitpun ia merasa menderita dan tidak terbetik pada dirinya untuk menanggalkan imannya. Iman seperti ini jelas tidak dimiliki oleh banyak saudara kita yang tega menjual iman dan menukar aqidahnya dengan sekantong beras dan sebungkus sarimi, karena tidak tahan menghadapi kesulitan hidup yang mungkin tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Nabi Ayub a.s ini.
Yang keempat, ujian lewat tangan orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyenangi Islam. Apa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya terutama ketika masih berada di Mekkah kiranya cukup menjadi pelajaran bagi kita, betapa keimanan itu diuji dengan berbagai cobaan berat yang menuntut pengorbanan harta benda bahkan nyawa. Di antaranya apa yang dialami oleh Rasulullah SAW dan di akhir tahun ketujuh kenabian, ketika orang-orang quraisy bersepakat untuk memutuskan hubungan apapun dengan Rasulullah SAW beserta Bani Abdul Muthalib dan Bani Hasyim yang melindunginya, kecuali jika kedua suku itu bersedia menyerahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh. Rasulullah SAW bersama orang-orang yang membelanya terkurung selama tiga tahun, mereka mengalami kelaparan dan penderitaan yang hebat.

Tidak ada komentar: