Kamis, 21 Februari 2008

Bersyukurlah Tanpa Putus

Saudaraku, ada banyak keterlibatan kita dalam hidup, dimana kita lebih bisa meraba kesulitan, daripada meraba kemudahan. Kita, lebih pandai memikirkan beban hidup, ketimbang keringanan hidup yang pasti kita rasakan. Kita lebih sering merasakan hidup ini dari sudut penderitaan, tumpukan masalah, beban jiwa yang berat, tapi sangat jarang melihat hidup dari sisi kelapangan, kesenangan, kemudahan yang lebih banyak kita terima.
Mari merenung sejenak. Pejamkan mata dan hadirkan bagian-bagian dari episode kehidupan yang sudah kita lalui. Rasakanlah peristiwa hidup mana yang begitu menggelayut berat dalam jiwa kita. Lalu lihatlah peristiwa hidup mana yang ternyata bernilai kemudahan, keringanan, keluasan yang kita rasakan dan lalui dalam hidup ini. Tadabburkanlah firman Allah SWT, “Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah:5-6)
Hitunglah saudaraku, adakah bagian penderitaan lebih dominant dalam hidup kita? Atau bagian keringanan, kemudahan, kelapangan, yang lebih banyak kita rasakan? Kesulitan tidak akan berdiri sendiri. Karena dalam kesempitan, pasti ada keluasan yang diberikan Allah untuk kita. Karena dalam kesusahan, pasti ada kemudahan yang dihamparkan-Nya untuk kita.
Saudaraku, ucapkanlah “Alhamdulillah” dengan sepenuh nafas dan penghayatan yang dalam. Syukurilah semua fase hidup yang kita alami di sini. Karena ternyata seluruh ruang kehidupan kita tak pernah terlepas dari limpahan rahmat Allah. Segenap gerak dan langkah kita di sini, selalu diikuti dengan kucuran karunia Allah yang melimpah ruah. Semua peristiwa yang kita alami di sini, selalu berada di bawah naungan cinta Allah. Semuanya. Seluruhnya.
Saudaraku, limpahan harta, kenikmatan hidup secara fisik, kebaikan pandangan kasat duniawi manusia, sama sekali bukan simbol bahwa kasih sayang Allah kepada orang yang mengalaminya lebih dari orang lain yang tidak merasakannya. Keindahan rupa, kebagusan pandangan, kenikmatan lahir, juga tidak menjadi tanda bahwa Allah lebih mencintai orang-orang memilikinya ketimbang orang yang tidak mengalami keadaan seperti mereka. Kesuksesan, keberhasilan, keunggulan, sekali-kali tidak menjadi rambu bahwa orang yang mengalaminya lebih dikasihi dan lebih dicintai oleh Allah ketimbang orang yang gagal dan kurang prestasinya di mata manusia.
Ingat saudaraku, tingkat kemuliaan seorang hamba dan kecintaan Allah kepadanya, tergantung tingkat keistiqomahannya dalam melakukan amal-amal taat kepada Allah, ketundukannya untuk tetap berada dalam jalur keridhaan Allah SWT. Dunia, bisa dimiliki oleh semua orang. Kebagusan, keindahan, kenikmatan, kesuksesan, bisa dipunyai oleh siapa saja. Kafir maupun mukmin, pelaku maksiat maupun orang yang taat, pendusta maupun orang yang jujur. “Sesungguhnya Allah memberikan dunia kepada orang yang ia cintai dan orang yang tidak ia cintai. Tapi Allah tidak akan memberikan nikmat agama kecuali pada orang yang ia cintai. Barangsiapa yang diberikan agama oleh Allah, maka sesungguhnya Allah telah mencintainya.” (HR. Ahmad).
Karena itu saudaraku, jika kita sedang melewati ujian hidup, buang jauh-jauh bayangan keputusasaan kita dari rahmat Allah SWT. Apapun fenomena hidup ini tidak boleh membalik sudut pandang keimanan kita. Karena kebaikan di dalam pandangan keimanan, adalah ketaatan pada Allah. Tidak tergantung oleh penilaian sesama makhluk. Karena kebenaran dalam timbangan aqidah kita, selalu ditentukan oleh keridhaan Allah. Tidak ditentukan oleh keinginan makhluk. Putus asa, kecewa berlebihan, merasa tak mempunyai harapan, menganggap jalan hidup menjadi buntu karena permasalahan yang mendera adalah bagian dari sifat-sifat kekufuran. Mufassir Fakhrur Razi dalam Tafsir Al Kabir 18/199, menyebutkan, “ketahuilah bahwa putus asa dari rahmat Allah tidak akan terjadi kecuali jika seseorang yakin bahwa Allah tidak mampu dalam kesempurnaan, yakin bahwa ilmu Allah tidak meliputi seluruh makhluk-Nya, yakin bahwa Allah itu bakhil dan tidak mudah memberi. Dan jika seseorang telah meyakini satu hal saja dari ketiga keyakinan itu, maka orang tersebut telah jatuh pada kekufuran. Itu sebabnya dalam Al-Qur’an disebutkan, “Dan tidaklah putus asa terhadap rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.” (QS. Yusuf: 87)

Tidak ada komentar: